1.20.2009

Kesempatan Kedua


Jan 3, '09 1:31 PM
by Fairus for everyone

Aku duduk tidak jauh darinya. Sekitar dua atau tiga meja saja. Awalnya aku tidak begitu yakin, apakah benar dia? Penampilannya, setelah tiga tahun lalu, sangat berbeda.
Tapi aku dapat melihatnya dengan jelas. Melihatnya memutar gelas dengan tangan kanannya, lalu merapikan taplak meja yang berkerut setelahnya, lalu menggaruk hidungnya, lalu merapikan poninya, dan sebentar-sebentar menatap keluar jendela.
Jelas sekali, dia sedang gugup. Entah menunggu siapa?

Ingin sekali beranjak dari kursiku, dan menghampirinya. Duduk di sebelahnya. Dan menatap matanya dari jarak yang dekat, mencoba mencari sesuatu yang sempat hilang. Tapi keinginan itu aku tepiskan jauh-jauh, karena dia sedang menunggu seseorang. Bisa saja kekasihnya, atau mungkin suaminya.
Jadi biar saja aku menyaksikan kegugupannya dari jarak dua-tiga meja.

Namanya Agis, syukurlah aku masih mengingat namanya. Seorang perempuan yang pernah tergila-gila padaku. Mungkin aku yang terlalu percaya diri, atau tidak terlalu percaya pada inner beauty yang terpancar dari seorang perempuan, khususnya Agis.

Dia gendut. Dan rambutnya keriting, atau lebih tepatnya keribo, atau campuran keduanya (jika dua jenis rambut itu memiliki perbedaan arti), atau aku akan memakai kata "kusut" untuk mendeskripsikan rambutnya.
Rambut Agis berwarna hitam, dan bentuknya keriting-keribo-kusut, seperti tidak pernah disisir.

Dan dia gendut, apakah tadi sudah disebutkan? Ya, gendut. Tapi mungkin berat badannya belum terhitung sebagai obesitas, tapi dia gendut. (Sudah tiga kali aku menyebutkan kata gendut, itu artinya dia sangat gendut). Perempuan bertubuh besar yang pernah aku temui sepanjang hidupku. Terlalu banyak lemak yang menempel di tubuhnya, sampai-sampai tidak pernah terpikir olehku untuk menyebutnya cantik. Agis, jauh dari kata cantik.

Belum lagi busana yang ia kenakan. Uh, old fashion. Kemeja bahan flanel dengan motif kotak beraneka warna, lalu celana bahan hitam, atau terkadang ia mengenakan celana cordoray cokelat tua. Dan aku rasa, semua pakaiannya dijahit sendiri, sebab ukurannya tidaklah tersedia di mal.

Aku mengenalnya sejak di bangku kuliah, yang berakhir tiga tahun lalu. Tapi tidak benar-benar mengenalnya. Hanya mengetahui keberadaannya di kelasku. Siapa yang tidak menyadari makhluk sebesar dia duduk di bangku paling depan? Menghalangi pandangan ke dosen dan tentu saja, ke layar infocus.
Agis memang salah satu mahasiswi pintar di kelas. IP-nya selalu berkisar antara 3,75 sampai 4,00. Dia sering terlihat di perpustakaan, membaca, lalu keluar dari sana dengan membawa setumpuk buku pinjaman.

Isi tasnya hanya ada buku, dan banyak cemilan. Dan sepertinya tidak ada bedak, atau lipstick, karena dia selalu tampil tanpa makeup. Hanya kacamata minus tiga yang menempel di wajahnya.

Aku tahu tentang perasaan cintanya padaku sejak dia terlihat gugup ketika berjabat tangan denganku. Lalu senyumnya gugup saat membalas senyumku. Atau langkahnya limbung ketika berpapasan denganku. Wajahnya merona merah tiap kali aku memandang secara tidak sengaja ke arahnya. Kemudian, banyaknya titipan salam darinya, untukku, melalui teman-teman sekelas.
Dan yang membuatku benar-benar yakin, saat dia dengan senang hati membantuku mengerjakan tugas-tugas kuliah. Bukan bermaksud untuk memanfaatkan, tapi itu adalah keinginannya sendiri.

Lalu akhirnya dia menyatakan cintanya padaku. Selembar kertas merah muda tergeletak dengan manis di atas meja kecil, tempatku yang biasa.
Aku membukanya perlahan, dan sangat hati-hati.

Dear Joe,

Napasku langsung tercekat membaca sapaan di surat itu. Dan sebelum aku membaca isinya, aku melirik ke baris paling bawah.

With Love,
Agis

Entahlah, mungkin aku adalah lelaki bodoh, atau pria angkuh. Sama saja bagiku.
Aku tidak membaca surat itu. Aku langsung menghampiri Agis dan mengembalikan suratnya dalam kondisi hancur lebur. Aku robek kertas pink itu kecil-kecil.

"Sudah dibaca, Joe?" tanya Agis setelahnya.
"Maaf tidak ada waktu," sahutku sambil berlalu.
"Kenapa?" tanyanya lagi, kali ini dengan nada sendu.
Aku berbalik, lalu aku ucapkan apa yang tidak ingin aku ucapkan, hanya kata-kata kasar yang kemudian aku sesali. "Karena kamu gendut, Gis. Tipikal cewek yang kusuka, adalah wanita-wanita cantik. Kamu ngerti kan wanita cantik seperti apa? Yang jelas tidak seperti kamu. Paling tidak ngaca dulu, sehari tiga kali. Biar kamu sadar kalau kamu tidak pantas berdekatan denganku, apalagi berpacaran. Perbaiki dulu bentuk badanmu, Gis!"

Berjalan cepat meninggalkan kelas yang mulai terdengar riuh rendahnya, diiringi isak tangis Agis. Sejak itu, tidak ada lagi cerita tentang si pemilik tubuh tambun.
Aku menghilang. Dan kurasa, dia pun menghilang.

***

Di kafe ini, aku melihatnya lagi. Pertama kali sejak tiga tahun lalu. Dan dia sungguh berbeda.
Tidak lagi berkemeja flanel, ataupun bercelana cordoray. Tidak lagi dengan rambut keriting-keribo-kusutnya itu. Tidak lagi berkacamata. Dan tidak lagi tanpa makeup.

Agis cantik. Ia memakai gaun merah muda. Rambutnya lurus digerai sampai bahu. Makeupnya sungguh natural, membuatnya terlihat bagai bunga chamomile.
Agis cantik. Dia sungguh pantas mendapat kesempatan kedua dariku.

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap, dan memberanikan diri menghampirinya yang masih terlihat gugup. Namun, langkahku terhenti seketika. Melihat senyum di wajah Agis yang merekah. Si chamomile dihampiri oleh seekor kupu-kupu gendut.
Entah siapa dia?

Sambil berdiri, aku memperhatikan dengan seksama.
Kupu-kupu gendut mengucap maaf karena terlambat. Lalu dia mengeluarkan sebuah cincin. Chamomile tersenyum bahagia. Kupu-kupu gendut melingkarkan cincin itu di jari manis chamomile. Mereka berdua berdiri, dan saling merengkuh satu sama lain. Seperti tidak ingin dipisahkan.

Tanpa sadar aku berdeham, "Hai, Agis," sapaku. "Masih ingat, aku Joe."
"Hai Joe," sapa Agis. "Apa kabar?" dia menjabat tanganku, kali ini tidak gugup.
"Baik," suaraku tercekat.
Kami bertiga saling pandang, "Ini Arya, calon suamiku, Joe," kata Agis memecah hening.
Aku pun berjabat tangan dengan Arya, si kupu-kupu gendut milik si chamomile.
"Dia Joe, teman kuliahku," katanya pada Arya.
"Dan aku akan menikah dengan pria yang dapat menerimaku apa adanya," bisik Agis entah pada siapa.
"Datang ya, Joe, ke acara penikahan kami," katanya lagi padaku. "Bawa juga pacarmu yang cantik itu."

Aku hanya tersenyum, mengangguk-angguk. Terlihat benar-benar bodoh.
Dan kesempatan kedua itu tidak pernah ada untuk diriku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar/Comment