1.20.2009

Hujan



Rambutku kembali lembab. rintik-rintik air turun dari langit lagi. ramalan tinggallah ramalan. Beberapa tahun belakangan ini cuaca memang tidak bisa lagi di prediksikan atau di tebak. Siang terang benderang lalu sore sudah gelap gulita bagai malam. Bayangkan saja sekarang,bulan April saja hujan masih rutin datang. Biasanya kan terang benderang dengan hawa yang bisa membuat kita sangat nyaman dengan memakai u can see atau kaos oblong saja.
Tidak ada yang bisa mengalahkan alam. Dua tahun terakhir kita baru sadar kalau ada istilah Global Warming. Kalau mau dijelaskan mungkin sangat panjang. Intinya, manusia juga yang menyebabkan semua perubahan ini. Mau salahkan siapa lagi? Malaikat? Atau Tuhan? Bisa-bisa dikutuk dunia akhirat!
Aku memegang lagi rambutku. Kalau tidak mau disebut 'lepek', mungkin bisa disebut juga habis diterjang badai, berantakan! Sambil menunggu bis jurusan yang mengarah ke timur, aku terus menyisiri rambut dengan ke dua tanganku secara bergantian. Tidak tahu sudah rapi atau belum, akhirnya aku menghentikan kegiatan ini. Aku pasrah. Untungnya sekarang aku sudah pulang kerja. Coba saja kalau aku berpenampilan apa adanya seperti sekarang ini ketika baru berangkat kerja. Bisa-bisa seluruh penghuni gedung akan menertawakanku.
ibu baru saja berbicara kemarin. Aku ingat dengan segar ucapannya tentang hujan. "Alam itu sudah tahu daerah atau tempat mana yang perlu diberi hujan. Tuhan punya perhitungannya sendiri tentang itu." Keponakanku yang baru masuk SMA pun ikut menimpali sebuah pertanyaan, "kalau Tuhan tahu perhitungannya tentang ketepatan yang perlu atau tidaknya daerah yang diberikan hujan. Kenapa ada daeraha yang malahan kebanjiran. Bukankah itu yang dinamakan berlebihan?"
Ibuku tersenyum. Tidak menyangka jawabannya akan berlanjut. "Hujan adalah nikmat, berkah. Apabila ada peristiwa banjir disela turunnya berkah, itu namanya bukan berlebihan melainkan cara Tuhan untuk memberitahu kita ada sesuatu yang harus diperbaiki di alam ini agar tidak ada lagi terjadinya banjir atau bencana lainnya. Seperti, peringatan! Selebihnya bagaimana cara kita sekarang untuk menyingkapinya."
"Mba, mau naik tidak? Masih ada yang kosong nih! Kita langsung jalan kok, tidak pakai ngetem dulu!" Suara kenek itu benar-benar mampu membuyarkan lamunanku seratus persen. Kosong apanya? Yang kulihat malah sebaliknya. Tubuh-tubuh berdempetan bagai ikan asin. Spontan saja aku menggeleng walau dengan berat hati melepas kepergian bis itu tanpa membawaku serta.
Aku kembali ke pengharapan semula. Semoga ada bis sejenis yang kosong menyapaku lagi. Namun belum selesai pengharapanku datang, tidak sengaja mataku membentur awa di atas sana. Mereka berjalan ke arah barat. Seperti pasukan perang, pantang untuk berhenti dan terlihat angker! Warna yang mereka bawa adalah abu-abu muda dan diikuti oleh abu-abu tua. Belum juga turun hujan, anginnya sudah membuat seng-seng atap rumah makan dibelakang halte tempatku berada, berbunyi secara bergantian. Rintik-rintik mulai berjatuhan. Bagai hujan panah yang mampu menembus apapun juga! Lalu gemuruh mulai berbunyi. Akankah petir yang akan mengkomando hadirnya hujan? Aku pasrah. Karena sekarang tinggal menunggu waktunya saja. Ya, akan aku tunggu...
Hei, ternyata bukan cuma aku saja yang menunggu hujan. Di sebelah kananku ada beberapa anak kecil. Mereka kira-kira berumur sekitar sebelas sampai empat belas tahun. Ada lima orang dengan masing-masing membawa payung panjang. Yang sebagian payungnya terlihat lebih tinggi daripada tubuh mereka sendiri. Mereka terus bercanda tanpa henti. Saling meledek dan menjadi hiburan tersendiri bagiku dan berapa orang yang berada dihalte.
Gemuruh berbunyi lagi. Membuat kami semua serentak terkaget. Padahal petir belum saja menampakkan suaranya. Sebagian para pejalan kaki yang terjebak di jalan langsung merangsek masuk mendekati halte untuk siap-siap berteduh. Dan malahan ada yang sudah menutupi kuping mereka sambil berwajah cemas. Intinya, halte menjadi sesak dari sebelumnya.
Detik-detik menegangkan akan datang. Ada sebagian orang yang masih berpikiran positif dan berharap agar hujan tidak jadi turun. Lalu aku melirik ke sebelah kananku. Wajah-wajah yang berbeda hadir. Wajah calon pengojek kecil yang ceria. Mereka pasti berharap bahwa hujan akan turun membawa berkah untuk mereka. Berkah hujan lebat yang akan membuat kami yang terperangkap dihalte dan tidak membawa payung akan mengeluarkan pundi-pundi rupiah untuk mereka. Aku tersenyum sendiri. Aku merasakan keyakinan mereka itu dari wajah-wajah mereka.
Selanjutnya, hanya Tuhan saja yang tahu akan doa, harapan dan kebutuhan siapa yang akan terpenuhi. Manusia memang hanya mengharapkan yang terbaik untuk mereka tanpa tahu sebenarnya yang mereka butuhkan. Sedangkan aku tetap pada posisi semula, pasrah. Karena ada hujan atau tidak, aku akan tetap menanti bis jurusan rumahku datang.
Pada menit-menit selanjutnya aku kembali menatap langit untuk melihat perkembangan. Tapi aneh. Ternyata langit kembali cerah. Aku mengerutkan kening. Seperti tidak ada apa-apa sebelumnya. Beberapa orang dihalte pun tidak percaya apa yang telah terjadi. Awan kembali cantik dengan latar belakang biru tua. Suasana yang memang pas untuk sore hari. Apakah pasukan awan tadi hanya numpang lewat? Mau menuju kemana mereka? Apa ada tempat yang lebih membutuhkan guyuran hujan daripada tempat ini? Atau doa para pengojek cilik itu tidak ampuh?
Aku tidak dapat berbuat apa-apa ketika melihat para pengojek cilik itu kecewa. Tapi aku yakin kekecewaan itu akan cepat pulih. Dan benar saja! Mereka kembali berlarian dan saling meledek. Tanpa peduli suasana, halaman parkir rumah makan, mereka jadikan jadikan lahan untuk berperang. Sebagian mempergunakan payung sebagai senjata pedang. Senyum mereka terus terkembang.
"Mba, mau naik tidak? Banyak bangku kosong kok!" Sekali lagi suara kenek bis membuyarkan keasyikanku mengamati para pengojek payung cilik itu. Tapi aku langsung mengangguk. Aku pun menaiki bis jurusanku. Akhirnya...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar/Comment