by Fairus for everyone |
Dia bukanlah seorang anak yang supel, yang pandai bergaul dengan teman-teman sebayanya. Di sekolah, dia sangat pendiam, dan gemar menyendiri. Aku tidak tahu pasti apa yang dipikirkannya selama ini.
Jika teman-teman sekelasnya bermain bersama, atau saling bertukar cerita, atau saling mencicipi bekal makan siang yang dibawakan oleh ibu mereka, maka adikku hanya duduk di sudut kelas dan memperhatikan dalam diam. Tidak ada keinginan untuk bergabung juga.
Di rumah pun, dia jarang bicara. Hanya saat ditanya, barulah dia menjawab dengan cara yang lucu. Ya, adikku berlidah pendek, dia cadel. Huruf "R" dilafazkan menjadi "L".
"Ulal melingkal di pagal lumah pak umal," ucapnya melatih lidahnya yang pendek.
Jelas saja aku tertawa mendengarnya. Apalagi dia seringkali mengulang kalimat itu di depan cermin, secara sembunyi-sembunyi.
Ibu marah jika aku selalu menertawakan adik. Dia pernah bilang, "Jangan meremehkan adikmu. Dia mempunyai kelebihan yang jarang dimiliki oleh anak-anak lain seusianya, kamu harusnya bangga."
Saat aku tanya, "Apa kelebihannya, Bu?"
Ibu hanya menjawab dengan, "Coba saja kamu tanya tentang dunianya."
"Maksud ibu apa?"
Ibu tersenyum penuh makna, "Ya, kamu tanya aja, darimana, Dik? Atau mau kemana, Dik? Atau sedang apa, Dik?" ibu menjelaskan. "Dan kamu akan terkejut mendengar jawabannya."
Aku benar-benar bingung saat itu. Mungkin saja ibu hanya menyindirku, karena kurang memperhatikan keseharian adikku. Tapi aku berpikir, apa salahnya kalau dicoba?
Siang hari
Aku baru saja sampai di rumah. Dan adikku sedang duduk di ruang makan, menikmati sepiring nasi dengan ikan goreng, dan sayur asem.
Iseng-iseng, aku menghampirinya, dan bertanya tentang dunianya (seperti saran ibu), "Hai, adikku sayang. Sedang apa?"
"Sedang makan," jawabnya dengan mulut yang penuh.
Sedikit kecewa, aku meneruskan dengan pertanyaan yang lain, "Setelah makan, mau kemana?"
Dia memperhatikan aku, menyelidik, sambil terus mengunyah. "Mau tidul siang."
Huh, tidak seru. Lalu aku tinggalkan dia di ruang makan, menuju kamarku di lantai dua.
Sore hari
Ibu sedang duduk di ruang TV, menonton berita sore, kadang-kadang remote TV
memindahkan salurannya ke acara gosip artis.
Adikku baru saja keluar dari kamarnya, dan menyapaku. "Kakak," begitu sapaan khasnya.
Dan, sekali lagi, iseng-iseng aku bertanya tentang dunianya. "Eh, adikku sayang, mau kemana?"
"Hmm..," ia berpikir sejenak. "Mau ambil minum."
...... huh, aku kecewa sekali lagi.
Tapi lalu dia menyambungnya dengan: "Dan setelah itu, aku mau ke Ethiopia, kak."
Hah? "Maksudnya?" tanyaku.
"Iya, kak, aku mau ke Ethiopia. Mau menyelamatkan anak-anak yang kulang gizinya. Kasihan deh, Kak, anak-anak di Ethiopia banyak yang busung lapal. Pelutnya buncit."
Kemudian, adikku masuk ke kamarnya lagi dengan membawa segelas air. Meninggalkan aku yang masih bingung.
Besoknya
Aku menatap adik. Dia sedang membaca sebuah buku. Aku perhatikan baik-baik, dengan sangat cermat. Apa yang salah dari dirinya? Apakah kemarin dia sedang berkhayal pergi ke Ethiopia? Atau apakah dia masih memiliki teman khayalan? Padahal di usianya itu, harusnya dia tidak lagi memiliki teman khayalan.
Ibu tersenyum melihatku, "Coba kamu tanya lagi tentang dunianya," kata ibu kemudian.
Aku balas menatap ibu, tidak percaya. Tapi aku menuruti saran darinya.
"Dik, sedang apa?" tanyaku seraya mendekati, menatap ke buku yang dipegangnya erat-erat.
"Kasihan Adelle, Kak," katanya sendu. "Sekalang ia tinggal di aslama yatim piatu. Aku tidak suka dengan teman-teman Adelle, meleka jahat. Adelle sedang mengepel lantai, dan embelnya ditendang sama meleka, ailnya tumpah dimana-mana. Bukannya membantu temannya, malah menyusahkan."
"Jadi, Adelle itu temanmu, ya?"
Adik menggangguk, "Aku sudah menjadikan Adelle sebagai teman baikku, kak. Sahabatku yang paling baik di dunia!"
Aku mengerti sekarang. Aku tahu tentang dunia adikku.
***
"Dik, mau kemana?"
"Aku mau makan malam dengan Tuan Kula-Kula, kak," jawabnya. Tergenggam satu buku di tangannya. "Dia membuat banyak loti isi selai stlawbelly. Dan tamu yang diundang banyak, ada Tuan Tupai, Tuan Badak, Tuan Lusa, Tuan Beluang, Tuan Laba-Laba, Tuan Seligala juga mau datang katanya. Pokoknya makan malamnya pasti selu, kak."
***
"Apa yang lucu, Dik?" tanyaku ketika melihatnya senyum-senyum di dapur.
"Ayahnya Anna, kak," jawabnya, seraya menutup satu buku yang sudah selesai ia baca. "Dia kaget waktu lihat lumahnya milip kapal pecah. Anna mengundang semua anak di kampungnya, meleka belenang di kolam lenang ayahnya Anna, lalu meleka lompat-lompatan di atas tempat tidul pegas, belgelayut di lampu klistal, untungnya tidak pecah. Tapi aku sayang sama Anna, dia baik banget. Anak-anak kampung itu dikasih makan enak, dan dikasih baju-baju bagus oleh Anna."
***
Walau dia cadel, dan kurang mampu beradaptasi secara baik dengan teman-teman sekelasnya, memakai kacamata tebal, serta rambutnya yang selalu dikepang dua itu terlihat kuno, tapi dunianya sangat penuh warna.
Dan sekarang, giliranku menceritakan kepadamu, tentang duniaku. "Hmm... bagaimana kalau kita mulai dengan acara makan malam para mafia kelas kakap di Palermo, Sisilia?"
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar/Comment